Mobil Polisi Tak Bermarka Dibakar – Hati Revolusioner Membara Selamanya (Berlin, Jerman)

27/10/25

Dan meskipun beberapa di antaranya tidak pernah kembali,

mereka tetap hidup dalam setiap napas kebebasan bersama dengan kita.

Dan meskipun beberapa di antaranya gugur dalam pertempuran,

mereka tetap berdiri di sisi kita dalam setiap tindakan.

Dan meskipun beberapa di antaranya meninggalkan kita lebih awal,

mereka memimpin jalan dan membuka jalan bagi kita.

Pada malam 24 Oktober 2025, kami membakar mobil polisi tak bermarka milik Kepolisian Berlin di luar Markas Kepolisian Seksi 24, Berlin. Mobil polisi tak bermarka tersebut diparkir di reservasi sentral di Kaiserdamm.

Tahun ini, sudah ada 16 orang yang ditembak mati oleh polisi di Jerman. Dan di saat keluarga dan teman-teman masih berusaha memahami kenyataan brutal ini, negara dan pers menyalahkan korban yang sudah meninggal. Setelah Lorenz dieksekusi di Oldenburg pada malam 20 April 2025 dengan tembakan di bagian belakang kepala, tubuh atas, pinggul, dan paha, kabar bohong mengenai serangan pisau yang disebarkan. Hal yang sama terjadi dalam kasus Hussam Fadl, Lamin Touray, Mouhamed Lamine Dramé, dan banyak lainnya. Jika, berkat tekanan publik, dakwaan diajukan, pelaku berseragam meninggalkan ruang sidang dengan pembebasan dan pembebasan bersyarat.

Sementara itu, setiap hari orang kulit hitam dan migran terus menjadi korban kekerasan polisi rasialis, menghadapi razia acak, cengkeraman yang mengancam nyawa, dan pelecehan yang merendahkan, yang sering kali berakhir dengan kematian. Hal ini juga memengaruhi para tunawisma, orang dengan gangguan mental, hingga individu LGBTIQ*. Praktik polisi yang rasis, kriminal, dan mematikan merajalela. Keyakinan yang tak tergoyahkan di Jerman mengenai ‘manusia di balik seragam’ sepertinya menjadi konsensus di banyak pikiran, tidak terlepas dari, melainkan justru karena sejarah Nazi. Hal ini terlihat dalam klaim yang sudah mapan bahwa polisi dan tentara sayap-kanan merupakan “kasus-kasus terisolasi”, meskipun tidak ada yang mampu menghitung banyaknya grup obrolan ekstremis sayap-kanan, jaringan yang mendukung NSU, dan kelompok bersenjata dari ‘Nordkreuz’ hingga “Nordbund”. Dan hal ini terlihat dalam penerimaan sosial yang luas terhadap kekerasan polisi secara masif, selama hal itu menimpa mereka yang dimarginalkan sebagai orang asing, berbeda, atau orang sakit.

Ketika keluarga korban dan inisiatif anti-rasisme harus berjuang keras untuk mendapatkan sedikit visibilitas setelah pembunuhan oleh polisi, kekerasan rasialis negara telah secara terbuka dan bangga ditampilkan selama dua tahun terakhir dalam upaya menekan protes solidaritas dengan Palestina. Persekusi terhadap organisasi migran sebagai bagian dari praktik polisi Jerman bukanlah hal baru. Dalam kriminalisasi bertahun-tahun terhadap Kurdi dan Turki berdasarkan Section 129b, negara Jerman menunjukkan upayanya dalam mengejar kepentingan geopolitik. Relasi baik dengan Turki, di antara hal-hal lain, merupakan basis penting untuk kesepakatan perbatasan dan ekspor senjata. Seiring meningkatnya protes terhadap pembunuhan di Palestina, kebijakan negara Jerman sejalan dengan aparatur kepolisian yang secara historis berakar pada kontinuitas eksploitasi kolonial dan kekerasan, sejarah Nazi, serta militerisme.

Berbekal dukungan politis, polisi menyerbu aksi-aksi demonstrasi di mana pun dan kapan pun mereka mau, memukul orang-orang yang berteriak dalam bahasa Arab, mengenakan keffiyeh, atau menuntut kebebasan untuk Palestina. Pola ini tidak banyak berubah sejak awal kolonialisme: orang-orang yang tidak dikenali oleh polisi dan pers sebagai kulit putih dan Jerman digolongkan sebagai kelompok kolektif, ditempatkan di suatu region, dan diberi karakteristik ‘kultural’ stereotipikal. Dengan cara ini, gerakan beragam yang terdiri dari puluhan ribu orang dapat secara publik dituduh sebagai organisasi front untuk Hamas, digerakkan oleh anti-semitisme. Saat ini, hak atas kebebasan berkumpul tidak lagi berlaku bagi gerakan Palestina.

Di sekolah-sekolah Berlin, otoritas interpretatif negara juga akan diberlakukan dengan dalih pencegahan anti-semitisme. Sejak 7 Oktober, Administrasi Senat telah menyetujui larangan penggunaan simbol-simbol Palestina di sekolah. Menurut lembaga anti-diskriminasi, keputusan ini telah menyebabkan intimidasi masif terhadap siswa.

Meski begitu, setiap slogan ‘Dari sungai hingga laut’ yang diinterpretasikan-ulang sebagai fantasi anti-semitik untuk eksterminasi, serangan aktual terhadap Yahudi atau sinagoga hanya menarik perhatian politisi sejauh dapat digunakan sebagai amunisi untuk mendiskreditkan protes. Fakta bahwa ribuan dari lebih dari 6.700 kasus yang diajukan oleh Kejaksaan Agung Berlin terhadap gerakan solidaritas telah ditolak oleh pengadilan karena kurangnya bukti atau relevansi, kemungkinan besar tidak akan mengganggu pihak yang bertanggung jawab. Polisi Berlin selalu lebih memilih untuk menghukum aksi protes itu sendiri. Springer & Co menangani sisanya melalui ‘pelaporan’ mereka.

Dan sebelum ada yang mengira bahwa negara polisi ini sudah cukup mapan, mari kita tutup pembahasan ini dengan melihat undang-undang polisi baru Berlin: ASOG. Pemerintah negara bagian hitam-merah tengah merancang undang-undang kepolisian baru yang mencakup surveilans video yang lebih luas, Trojan negara, dan terutama pergeseran signifikan dalam wewenang intervensi polisi. Di Berlin, lokasi-lokasi yang di-sebut “lokasi rawan kejahatan (KbOs)” telah dibuat bertahun-tahun lalu, seperti Görlitzer Park, jalur bawah tanah U8, dan Rigaer Straße.

Dengan adanya ASOG baru, surveilans video akan ditambahkan ke lokasi-lokasi tersebut, yang akan dievaluasi menggunakan kecerdasan buatan (AI). Hal ini juga akan berlaku bagi acara publik. Perangkat lunak analisis ‘Gotham’ dari Palantir akan membuat data besar digital massal yang dapat digunakan oleh pejabat Berlin di masa depan. Kecerdasan buatan pengenalan perilaku dari Institut Fraunhofer kini akan digunakan di Berlin, setelah sebelumnya diterapkan di Hamburg dan Mannheim. Rencananya, AI akan dilatih menggunakan gambar dari kamera pengintai di KbOs, rekaman objek yang mengancam, dan rekaman polisi dari helikopter dan drone. Jika undang-undang ini disahkan, polisi akan diizinkan untuk secara rahasia memasang Trojan negara di rumah-rumah masa depan. Rancangan ini juga mengatur akses polisi ke pesan obrolan terenkripsi dengan mengizinkan mereka menyadap pesan tersebut sebelum layanan pesan mengenkripsinya.

Api dan kobaran untuk polisi!

Kebebasan bagi Nanuk, Maja, dan semua anti-fasis!

Kebebasan bagi terdakwa dalam sidang Ampelokipi!

Dalam mengenang rekan kita Kyriakos Xymitiris – ΓΙΑ ΠΑΝΤΑ ΕΝΑΣ ΑΠΟ ΕΜΑΣ

Sumber