Ribuan Warga AS Turun ke Jalan, Lawan Trump Lewat Demo “No King”

19 Okt 2025

Ribuan warga di New York, Amerika Serikat menggelar protes terhadap Presiden Donald Trump. Departemen Kepolisian New York memperkirakan aksi bertajuk “No King” ini diikuti oleh 100.000 warga yang berkumpul di lima kota.

Dalam aksi itu, sejumlah warga membawa berbagai protes yang mengkritik arah pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump. Salah satu warga merasa marah terhadap Trump yang dinilainya membawa AS menuju pemerintahan otoriter.


Mengenal Gerakan No Kings, Unjuk Rasa Anti-Trump yang Marak di AS

Jutaan warga Amerika Serikat mengikuti unjuk rasa menentang Trump dalam gerakan No Kings. Apa sebabnya?

19 Oktober 2025

JUTAAN warga Amerika Serikat turun ke jalan pada Sabtu, 18 Oktober 2025. Dengan mengusung slogan “No Kings,” mereka mengecam apa disebutnya sebagai kecenderungan otoriter Presiden AS Donald Trump dan erosi norma-norma demokrasi di bawah pemerintahannya.

Penyelenggara unjuk rasa mengatakan lebih dari 2.600 aksi unjuk rasa direncanakan di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri, bahkan di ibu kota negara lain. Hingga tiga juta orang diperkirakan akan berpartisipasi.

“Tidak ada yang lebih Amerika daripada mengatakan, ‘Kami tidak punya raja,’” kata Leah Greenberg, salah satu pendiri Indivisible, salah satu kelompok utama di balik protes tersebut seperti dilansir dari CNA. “Kami menggunakan hak kami untuk melawan secara damai.”

Mengapa Rakyat AS Turun ke Jalan?

Demonstrasi tersebut dipicu oleh penentangan terhadap kebijakan imigrasi dan pendidikan Trump, serta penggunaan Garda Nasional di kota-kota AS dan penuntutan terhadap pesaing politik. Di Washington, ribuan orang berbaris menuju Gedung Capitol AS, membawa bendera, spanduk, dan balon dalam suasana layaknya karnaval. Beberapa pengunjuk rasa berpakaian seperti Trump dengan garis-garis penjara memegang spanduk bertuliskan “Angkat Trump Lagi.”

“Saya menentang penyalahgunaan kekuasaan,” kata Aliston Elliot, yang mengenakan mahkota Patung Liberty dan membawa tanda bertuliskan “Tidak Ada Calon Diktator.”

Aksi unjuk rasa besar juga dilaporkan terjadi di New York, Boston, Chicago, Atlanta, dan Houston. Seorang seorang veteran Korps Marinir AS mengatakan bahwa ia bergabung dalam pawai tersebut karena Amerika Serikat didirikan atas dasar tindakan melawan tiran dan raja.

Di Portland, Oregon, veteran berusia 70 tahun Kevin Brice mengenakan kaus bertuliskan “Tidak Ada Raja sejak 1776.” Ia mengatakan malu karena mengerahkan militer melawan warga sipil.

Apa Reaksi Trump?

Trump meremehkan protes tersebut. Ia mengatakan kepada Fox Business dalam sebuah wawancara pada hari Jumat. “Mereka menyebut saya sebagai raja, saya bukan raja.”

Lebih dari 300 kelompok akar rumput bergabung untuk mengorganisir pawai, didukung oleh American Civil Liberties Union, yang melatih para sukarelawan untuk bertindak sebagai pengamat hukum dan petugas de-eskalasi.

Pemimpin progresif Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez, serta Hillary Clinton, menyuarakan dukungan untuk gerakan tersebut. Ketua DPR Mike Johnson, seorang Republikan, menganggap demonstrasi tersebut sebagai unjuk rasa kebencian terhadap Amerika.

Sosiolog Dana Fisher dari Universitas Amerika memperkirakan bahwa demonstrasi hari Sabtu dapat menandai salah satu peristiwa protes terbesar dalam sejarah AS, dengan jumlah peserta yang mungkin melampaui demonstrasi “No Kings” bulan Juni yang menarik hingga enam juta orang.

Ia mengatakan protes tersebut tidak mungkin mengubah kebijakan Trump. Namun Fisher menambahkan bahwa protes dapat membuat pejabat yang menentang agenda Trump menjadi berani.

Aksi solidaritas yang lebih kecil juga terjadi di luar kedutaan besar AS di London, Madrid, dan Barcelona, tempat para pengunjuk rasa meneriakkan dukungan terhadap demokrasi Amerika dan menentang otoritarianisme.

Sumber: 1; 2